Meneliti Riwayat Kesucian Al Kitab (Bible)
Sunday, May 15, 2011
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan”. (Qs. Al Baqarah, 2: 79)
Tidak hanya satu atau dua karya Kristen yang digunakan sebagai alat untuk mendiskreditkan kitab suci Al Quran. Karya tersebut tidak jarang pula merupakan perpanjangan tangan dari kepentingan Kristenisasi. Penyebarannya meliputi kalangan umat Islam yang masih memiliki kondisi pemahaman terhadap Islam secara terbatas. Misalnya, Gilchrist menyebutkan bahwa pada era khalifah Utsman bin Affan, Ibnu Mas’ud menolak naskah Hafsah, sedangkan Ibnu Mas’ud sendiri dikatakan memiliki naskah lain yang berbeda.[1] Kisah besutan ini seolah mencoba mengesankan hadirnya ”fakta” bahwa Al Quran memiliki ragam variasi.
Cerita tentang ”kasus Ibnu Mas’ud” ini merupakan ”fakta buatan” cukup populer dalam sejumlah statemen apologetik di dunia Kristen untuk memojokkan Islam. Awalnya, isu ”kasus” ini merupakan bentuk pengembangan dari korpus orientalis yang menyatakan bahwa Ibnu Mas’ud mengingkari keberadaan Surah An Nas dan Al Falaq sebagai bagian dari Al Quran. Dengan berpegang pada pendapat ini maka terciptalah ”ilusi” bahwa seakan-akan Al Quran memiliki sejumlah versi berbeda. Faktanya, tidak ada perbedaan atau versi dalam Al Quran. Jika pun ada, perbedaan yang pernah berkembang dalam sejarah Islam terkait Al Quran tidak lain hanya perbedaan dialek yang digunakan dalam membaca Al Quran, bukan masuk dalam ranah substansial.
Keberadaan ”kasus Ibnu Mas’ud” tersebut tidak lain adalah pendustaan dan pemalsuan yang disandarkan kepada pribadi Ibnu Mas’ud, seorang sahabat Nabi saw yang mulia. Surat An Nas dan Al Falaq merupakan bagian dari Al Quran, dimana keduanya memiliki penyebutan istimewa sebagai kedua surah ”mu’awwizatain” sejak era Rasulullah saw. Proses kompilasi Al Quran tidak semata-mata didasarkan kepada keberadaan naskah, namun lebih mengacu kepada tradisi periwayatan. Secara sederhana, tulisan Al Quran didasarkan kepada riwayah. Al Quran merupakan kitab yang terpelihara dalam hafalan hamba-hambanya yang shalih, sehingga bila terjadi sedikit saja kesalahan atau penyimpangan penulisan maka dengan mudah dapat diketahui. Tradisi menghafal Al Quran ini telah berkembang sejak era Rasulullah saw hingga hari ini, bukan sekedar sejak Al Quran dikumpulkan menjadi satu mushaf. Kristen Barat umumnya menutup mata terhadap eksistensi penghafal Al Quran ini. Bahkan tradisi periwayatan ini masih berkembang pula hingga hari ini di sejumlah negara berpenduduk Islam.
Statemen-satetemen lain yang serupa dengan Gilchrist tentang Al Quran, umumnya telah dijawab dengan baik oleh sejumlah sarjana muslim. Menariknya Gilchrist kemudian membandingkan ”fakta semu” tentang Al Quran tersebut dengan proses kompilasi Bible, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Ia menyatakan bahwa Bible, dalam hal ini ia menggunakan King James Revised Standar Version merupakan kitab yang terpelihara karena merupakan bentuk terjemahan dari Kitab asli Bahasa Yunani. Ia mengemukakan bahwa terdapat sekitar 4000 naskah dalam Bahasa Yunani yang ditulis tidak kurang dari tahun 200 sebelum masa Muhammad. Kedua, ia menyebutkan bahwa tidak pernah terjadi perubahan materi dalam bentuk apapun dalam struktur, ajaran, ataupun doktrin dalam Bible. Ketiga, tidak ada naskah-naskah terjemahan tersebut tidak merupakan sebuah wujud perbedaan versi. Hakikatnya Bible, menurut Gilchrist tidak pernah mengalami perubahan dengan cara apa pun, tetap murni, dan utuh.[2]
Tulisan ini akan mencoba melihat secara mendalam argumentasi yang sejenis terutama ditujukan untuk mencermati proses kompilasi Bible. Hal ini penulis maksudkan bukan untuk berkonsentrasi kepada buku yang tidak mencantumkan identitas pengarangnya secara jelas tersebut. Namun lebih sebagai upaya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat muslim yang menjadi target bagi penyebaran tulisan yang bersangkutan. Umumnya mereka memiliki tingkat pemahaman Islam yang awam dan mudah terombang-ambing menjadi korban disinformasi. Penulis berharap tulisan ini akan memberi sedikit sumbangan wawasan bagi para da’i yang bergerak dalam kalangan tersebut. Umat Islam harus terus diarahkan untuk mengikuti tuntunan ajaran Islam dan tidak seharusnya terjebak dengan propaganda menyesatkan.
FAKTA BERBICARA
Secara umum kitab suci yang digunakan oleh umat Kristen memang menghadapi problem sejak awal, baik Perjanjian Lama (Old Testament) yang merupakan “warisan” dari kaum Yahudi (Hebrew Bible) maupun Perjanjian Baru (New Testament). Kitab-kitab yang ada saat ini umumnya merupakan salinan dan terjemahan dari sebuah ”naskah asli”. Justru, problem mendasarnya adalah ”naskah asli” tersebut tidak pernah diketemukan. Sehingga perlu upaya yang lebih mendalam untuk memulihkan ”naskah asli” tersebut. Upaya pemulihan ”naskah asli” itu sendiri pada akhirnya hanya bertumpu pada proses yang sepenuhnya bersifat spekulatif. Hal ini terungkap sebagai berikut:
Roh Kudus tetap memimpin Geredja Kudus, biarpun tidak seperti menjolok didalam Geredja purba. Tidak mungkin Ia membiarkan Kitab Kudus jang diselenggarakanNja guna mendjadi dasar pengadjaran dan pemimpinan Geredja untuk selama-lamanja, tidak tetap terpelihara utuh dan murni, salah ditafsirkan atau disalahgunakan sehingga dapat mendjadi pokok kesesatan. Untuk itu djabatan pengadjaran Geredja jang resmi tetap dipimpin oleh Roh Kudus.
Kalau dikatakan, bahwa Kitab Kudus bebas dari kechilafan, hal ini memang mengenai naskah-naskah asli sadja. Tetapi naskah-naskah asli itu belum satupun ditemukan. Jang diturunkan kepada kita, ialah salinan-salinan dan terdjemahan-terdjemahan dari naskah-naskah asli itu. Salinan-salinan dari abad kedua sampai abad kelima sudah ratusan ditemukan. Tetapi hanja beberapa jang lengkap. Dari kebanjakan karangan tersimpan sebahagian sadja.
Salinan-salinan itu umumnja tidak dikerdjakan dengan ketelitian jang kita idamkan, tetapi perbedaan antaranja djarang mengenai isi, melainkan mengenai bahasanja. Dengan membandingkan segala salinan satu dengan jang lain, para ahli telah berhasil hampir-hampir memulihkan jang asli. Dalam pekerdjaan itu digunakan djuga terdjemahan dalam pelbagai bahasa jang dikerdjakan dalam abad-abad pertama sedjarah Geredja. [3]
Permasalahan utamanya, sulit ditemukan suatu otoritas yang mampu menjamin kebenaran dari proses pemulihan tersebut. Apalagi jika mengaca pada kondisi “naskah asli” yang tidak terpelihara dengan baik. Dr. C. Groenen, seorang pakar theologi Kristen, mengungkapkan proses penyalinan kitab tersebut sebagai berikut:
Semua naskah aseli yang ditulis oleh penulis suci tidak terpelihara bagi kita. Berabad-abad lamanya naskah-naskah itu disalin dengan tangan (percetakan memang belum ada). Dengan disalinnya naskah-naskah itu banyak kesalahan menyusup. Memang sulit menyalin sesuatu tanpa salah. Coba saja anda menyalin satu halaman sebuah buku, lalu periksalah berapa kesalahan menyusup. Dalam menyalin Alkitab ada kesalahan yang kebetulan saja terjadi, tetapi ada juga yang sengaja dibuat atas dasar macam-macam pertimbangan. Salah satu sumber kesalahan juga bahwa cara menulis dan bentuk huruf dahulu berbeda dengan yang kemudian. Lalu bentuk kuno dialihkan ke dalam bentuk baru dan boleh jadi penyalin keliru, sebab tidak tahu lagi bentuk huruf lama. Ada juga huruf-huruf Ibrani yang sangat serupa satu sama lain, sehingga penyalin mudah keliru. Meskipun orang Yahudi mesti dipuji karena ketelitiannya dalam menyalin Kitab Kudusnya, namun masih banyak kesalahan menyusup. Ternyata Tuhan tidak menjaga supaya Kitab Suci terpelihara secara utuh sempurna. Penyalin-penyalin tidak mendapat pertolongan khusus.[4]
Kesulitan pemulihan teks itu sendiri pada akhirnya sulit mendapatkan jalan keluar. Proses-proses yang terjadi dalam penyalinan Bible sangat kompleks, tidak sesederhana yang dikira. Kesalahan-kesalahan penyalinan paling awal dari sebuah teks pada akhirnya diwariskan dalam teks-teks selanjutnya. Melacak kembali ”bentuk” semula dari ”kitab suci” dengan memanfaatkan jejak-jejaknya sudah tentu bukan hal yang mudah. Apalagi jika jejak utamanya telah terhapus dalam kurun masa yang sulit diperkirakan. Dr. Th. Vriezen mengemukakan masuknya sejumlah tambahan atau sisipan ke dalam ”kitab Suci” yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia, sebagai berikut:
Ada beberapa kesulitan yang harus kita hadapi kalau kita mau membahas bahan sejarah Perjanjian Lama secara bertanggung-jawab. Sebab yang utama ialah bahwa dalam proses-sejarah ada banyak sumber2 kuna itu yang diterbit-ulang atau yang diredaksi (yaitu diolah kembali oleh penyadur). Proses penyaduran turun temurun itu ada untung-ruginya. Salah satu untung ialah bahwa sumber2 kuna itu dipertahankan dan tidak menjadi hilang atau terlupakan. Tetapi ada ruginya juga, yaitu adanya banyak penambahan dan perubahan yang tahap demi tahap dimasukkan ke dalam naskah, sehingga sulit sekali sekarang untuk menentukan, bagian manakah dalam naskah2 historis itu yang bersifat original (asli), dan bagian manakah yang merupakan sisipan2 kemudian. Dalam tugas mem-beda2kan lapis itu, teknik2 riset kesusasteraan dapat membantu kita. Tetapi metode2 yang dipakai dalam riset itu tidaklah mutlak dan tidaklah gampang dipakai; itu berarti bahwa proses pemeriksaan dan penyelidikan bahan2 yang dari jaman kuna itu memerlukan ketelitian dan waktu yang cukup banyak.[5]
Sejalan dengan pandangan-pandangan di atas Dr. C. Mulder mengungkapkan adanya kesalahan dalam proses penyalinan sebagai berikut:
Naskah2 asli dari Kitab Sutji itu sudah tidak ada lagi. Jang ada pada kita hanja turunan atau salinan. Dan salinan itupun bukannja salinan langsung dari naskah asli, melainkan salinan dari salinan dari salinan dan seterusnya. Sering didalam menjalin Kitab Sutji itu terseliplah salah-salin. Bagaimanapun djuga text atau naskah Kitab Sutji itupun ada sedjarahnja, maka dalam menjelidiki terdjadinja Kitab Sutji ilmu pembimbing sepatutnja djuga mengupas sedjarah naskah itu.[6]
Prof. H. H. Rowley, pakar Kristen lainnya, mengungkapkan proses kanonisasi Bible secara lebih kronologis. Kumpulan paling awal dari Perjanjian Lama yang dianggap sebagai ”suci” adalah Pentateuch. Namun waktu terbentuknya Pentateuch hingga mencapai bentuk seperti hari ini, tidak pernah diketahui. Mungkin sebelum abad ke 4 SM, Pentateuch telah menemui sebuah bentuk tertentu. Kitab-kitab yang ada di dalamnya sudah pasti dinyatakan sebagai ”suci” pada sekitar permulaan abad II SM. Salah satunya adalah kitab Yesus bin Sirakh, yang pada masa selanjutnya dianggap sebagai bacaan apokripa. Pada akhir abad I M, para Rabbi Yahudi berkumpul di Yamnia untuk membicarakan bagian mana sajakah kitab-kitab tersebut yang harus dianggap bacaan suci. Inti pembicaraannnya kemudian mengarah pada kitab Yehezkiel dan Kidung Agung. Dalam naskah-naskah tertua Perjanjian Lama yang saat ini diterima oleh kekristenan, terdapat beberapa kitab tambahan yang tidak termaktub dalam Perjanjian Lama Ibrani. Hal ini terjadi karena Kristen hanya menerima begitu saja kitab tersebut dari umat Yahudi. Namun penerimaan tersebut sebenarnya tidak memiliki bukti bahwa kitab-kitab tersebut telah diterima secara kanonik oleh para Rabbi dari Yamnia. Lambat laun kitab-kitab tambahan tersebut diterima sebagai bagian dari Bible. Tetapi proses penerimaaan tersebut tidak terjadi secara aklamasi dan tidak semua gereja mau mengakuinya pada saat itu juga. Pada abad XVI M, dalam Konsili Triente, Gereja Katholik menerima kitab-kitab ini sebagai Kanonik, namun terdapat pula orang-orang yang menolak. Rowley juga menekankan bahwa selama proses penyalinan tangan yang terjadi antar generasi, banyak menghasilkan kesalahan penyalinan. Perbedaan antar naskah sudah menjadi konsekuensi logis akibat proses penyalinan yang bersifat demikian. Sampai saat ini, menurut Rowley, naskah utama tertua Perjanjian Lama versi bahasa Ibrani yang digunakan sebagai acuan penulisan kitab suci, hanya berasal dari naskah abad X Masehi atau bahkan dari masa selanjutnya. Sedangkan pasca penemuan naskah di Gua Qumran, terdapat beberapa naskah Perjanjian Lama yang umumnya tidak lebih tua dari abad I M.[7]
KANONISASI PERJANJIAN BARU
Sebagaimana halnya dengan kitab Perjanjian Lama, Perjanjian Baru juga memiliki perjalanan kesejarahan yang hampir serupa dalam proses pembentukannya. Perjanjian Baru telah mengalami sejarah yang cukup panjang mulai dari proses penulisan, pengumpulan, hingga penetapan. Kitab ini baru ditulis dan dihimpun pada masa yang jauh setelah kehidupan Yesus. Bahkan boleh dikatakan bahwa baru ditulis setelah jamaah Kristen mula-mula muncul. Karangan-karangan yang membentuk Perjanjian Baru tidak serta merta dikenal dan diterima umat Kristen sebagai kitab suci.[8] Naskah-naskah yang digunakan sebagai acuan oleh umat Kristen umumnya juga bukan berasal dari teks awal yang ditulis para pengarang Injil, melainkan hanya didasarkan pada teks-teks turunan saja. Teks awal telah hilang sehingga kebenaran penyalinan tersebut tidak dapat diverifikasi pada masa selanjutnya. Salah satu bagian Injil Yohannes berasal dari masa yang tidak lebih tua dari abad ke-2 M. Naskah-naskah lainnya berasal dari abad ke – 4 dan ke-5 M.[9]
Penulis karangan-karangan dalam Injil tersebut umumnya tidak pernah diketahui secara pasti identitasnya. Sebab mereka bukan para murid Yesus dan tidak pernah secara langsung mendapatkan pengajaran darinya. Para penulis tersebut umumnya hanya merupakan generasi belakangan yang memanfaatkan sumber dari sejumlah tradisi yang berkembang. Tidak mengherankan jika Bambang Noorsena, tokoh Kristen Orthodoks Syria, mengungkapkan adanya “kebingungan” para ahli tentang Perjanjian Baru, misal pernyataan dalam footnote bukunya bahwa Surat Ibrani awalnya diduga ditulis oleh Rasul Paulus, tetapi para ahli pada masa sekarang ini telah meninggalkan pendapat itu dan menyetujui bahwa surat ini ditulis oleh orang lain yang mempunyai latar belakang Yahudi.[10] Footnote Bambang Noorsena ini sejalan dengan tulisan Dr. C. Groenen, pakar theologi. Awalnya Kitab Ibrani yang tidak diketahui identitas pengarangnya ini memang tidak dianggap sebagai kitab suci. Surat Ibrani ini hanya dianggap sebagai karya sastra atau prosa yang berwibawa saja, bukan bagian dari bacaan suci. Baru sekitar tahun 200 M, Patenus, seorang pujangga gereja di Alexandria mengakui bahwa Ibrani merupakan kitab suci karangan Paulus. Dasar yang digunakan oleh Patenus dalam penetapan tidak jelas hingga hari ini. Sekitar 225 M, Origenes menyebutkan bahwa hanya Tuhan saja yang mengetahui penulis Ibrani. Namun meskipun demikian sampai tahun ini, Ibrani belum pasti apakah dianggap masuk sebagai kitab suci atau tidak. Hingga tahun 330 M, umat Kristen kawasan timur menerimanya sebagai kitab suci karangan Paulus. Namun demikian sampai sekitar 400 M, Hieronimus masih mengetahui bahwa orang-orang Roma tidak bersedia menganggap Ibrani sebagai kitab suci dan karangan Paulus. Hieronimus sendiri menerimanya sebagai kitab suci meskipun meragukannya sebagai karangan Paulus. Kemudian baru pada abad kelima, Ibrani diterima umum sebagai kitab suci karya Paulus. Namun keyakinan ini mulai diragukan dengan datangnya era Reformasi pada abad keenam belas. Tradisi yang menganggap Ibrani sebagai karangan Paulus ternyata sangat lemah dan tidak didukung oleh karangan itu sendiri. Karangan ini sebenarnya lebih dekat pada tradisi Yohanes dibandingkan tradisi Paulus. Mengingat kehalusan bahasa dan kemahiran mengarang bisa dipastikan penulisnya sangat menguasai dan hidup dalam kebudayaan Yunani. Penulis Ibrani juga diyakini sangat menguasai Perjanjian Lama dalam Bahasa Yunani, sehingga disimpulkan bahwa ia pastilah seorang Kristen keturunan Yahudi.[11]
Dengan mencermati proses penulisan dan pengumpulan serta penetapannya sebagai kitab suci maka tidak ragu lagi bahwa Injil merupakan kitab yang tidak bisa tidak sulit dilepaskan dari suatu kebudayaan yang melingkupinya. Contoh lain yang membuktikan masuknya ”proses kebudayaan” adalah terkait pemunculan dalil trinitas dalam Perjanjian Baru, kitab umat Kristen. DR. C. Groenen OFM, seorang teolog Kristen (Katholik), mengungkapkan bahwa dalil mengenai trinitas merupakan ayat-ayat yang ditambahkan kemudian pada abad IV M setelah umat Kristen mengalami perdebatan panjang seputar eksistensi trinitas. Jadi merupakan sebuah hal yang baru dan bukannya final sejak masa Yesus. Ini membuktikan bahwa Agama Kristen merupakan agama sejarah yang terbentuk melalui proses perjalanan sejarah yang panjang dan lama, termasuk dalam diskursus pembentukan basic konseptual ketuhanannya. Oleh karena itulah maka juga dapat disebut sebagai agama budaya. Hal tersebut diungkapkan secara lugas dan jelas oleh DR. C. Groenen OFM sebagai berikut :
Di zaman umat Kristen berdebat-debat mengenai Allah Tritunggal, sangat terasa bahwa dalam Perjanjian Baru tidak ditemukan suatu nas yang jelas mengungkapkan dogma itu, sehingga mudah dapat dipindahkan dalam alam pikiran filsafat dan teologi Yunani. Maka suatu nas “trinitas” yang jelas dibuat dan dimasukkan ke dalam naskah-naskah Perjanjian Baru. Nas itu ialah yang lazim disebut “Comma Johanneum” (1 Yoh 5:7 menurut Vlg.). Sejak abad IV nas itu muncul, mula-mula di daerah negeri Spanyol. Nas itu menyusup ke dalam naskah-naskah terjemahan Latin (Vlg. Naskah-naskah terjemahan Latin yang paling tua belum memuat 1 Yoh 5:7). Akhirnya diterjemahkan ke dalam Bahasa Yunani dan disisipkan juga ke dalam naskah-naskah Yunani. Tetapi naskah-naskah yang memuat 1 Yoh 5:7 semua dari zaman belakangan.[12]
Dalam catatan kakinya, Dr. C. Groenen menambahkan bahwa hanya ada 3 (tiga) naskah Yunani yang memuat teks I Yohanes 5:7. Teks itu pun baru dibuat selama abad XIV dan XVI M. Congregatio S. Officili pada tanggal 13 Januari 1897 pernah mempertahankan ayat I Yohanes 5:7 sebagai asli. Tetapi keputusan tersebut dicabut kembali pada tanggal 2 Juni 1927.[13] Namun belakangan ini Perjanjian Baru, termasuk yang beredar di Indonesia, memuat kembali penambahan teks I Yohannes 5: 7 yang sebelumnya pernah dihapuskan dari gereja. Hal ini sudah tentu karena gereja membutuhkan dalil tersebut sebagai legitimasi atau sebenarnya justifikasi keyakinan yang dimilikinya, walaupun hakikatnya bisa dibuktikan hanya merupakan dalil buatan dan hasil perumusan semata. Perlu ditegaskan bahwa doktrin trinitas merupakan jantung utama paham Kristianitas. Namun ternyata ajaran tersebut hanya merupakan paham yang didukung oleh ayat-ayat “buatan” pada masa-masa kemudian. Selain itu banyak ayat-ayat lain dalam Bible yang telah dibuktikan oleh teolog sebagai ayat-ayat tambahan yang sepenuhnya “baru”.
Ayat yang seringkali digunakan sebagai dasar paham trinitas yaitu Surat Kiriman Yohanes Pertama (I Yohannes) Pasal 5 ayat 6-8 dalam edisi Indonesia berbunyi sebagai berikut:
5:7 Sebab ada tiga yang memberi kesaksian [di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu.
5:8 Dan ada tiga yang memberi kesaksian di bumi]: Roh dan air dan darah dan ketiganya adalah satu.[14]
Penggunaan tanda kurung dalam kedua ayat tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa ayat tersebut palsu. Artinya ayat tersebut baru ditambahkan kemudian pada era-era terakhir. Hal ini bisa dibuktikan dengan melakukan perbandingan versi Bible yang lain, misalnya The Holy Bible Contemporary English Version yang berbunyi :
5:6 Water and blood came out from the side of Jesus Christ. It wasn’t just water, but water and blood. The Spirit tells about this, because the Spirit is truthful.
5:7 In fact, there are three who tell about it.
5:8 They are the Spirit, the water, and the blood, and they all agree.[15]
The Holy Bible Contemporary English Version ini bukannya satu-satunya versi yang memiliki perbedaan dengan Bible yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Versi tanpa penambahan atau perubahan, juga bisa dibaca dalam The Holy Bible New International Version[16] dan The Holy Bible Today’s English Version[17]. Lantas, mengapa terdapat versi yang berbeda dalam ayat-ayat yang dianggap sebagai dalil tentang trinitas tersebut ? Tokoh Gereja yaitu Dr. G. C. Van Niftrik dan D. S. B. J. Boland menyatakan :
“Di dalam Alkitab tidak diketemukan suatu istilah yang dapat diterjemahkan dengan kata “tritunggal” atau suatu ayat tertentu yang mengandung dogma tersebut. Alasan, yang menimbulkan dogma itu, mungkin terdapat dalam I Yohanes 5 : 6-8. Tetapi sebagian besar dari ayat-ayat ini agaknya belum tertera dalam naskah aslinya. Bagian itu setidak-tidaknya harus diberi kurung.“[18]
Dari tulisan kedua tokoh gereja di atas dapat diketahui bahwa tambahan kalimat “Bapa, Firman, dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu” pada kitab Yohanes yang menunjuk kepada 3 (tiga) oknum trinitas, sebenarnya adalah suatu bentuk pengubahan dan penambahan terhadap kitab yang dianggap suci atau dengan kata lain adalah pemalsuan teks kitab. Perbuatan ini sudah tentu dilakukan oleh para penginjil dari era belakangan yang memerlukan “dalil” tegas bagi apa yang mereka percayai, sebuah dalil buatan. Terkait ayat di atas tokoh Kristen terkemuka Amerika, Jerry Falwell, bahkan secara terbuka dan terang-terangan mengungkapkan bahwa ayat 7 dan 8 dari I Yohanes adalah tidak original dan bukan wahyu (firman Tuhan). Hal ini diungkapkan sebagai berikut :
“The rest of verse 7 and the first nine words of verse 8 are not original, and are not to be considered as a part of the words of God.”[19]
Artinya :
“ Kalimat terakhir ayat 7 dan sembilan kata pertama pada ayat 8 adalah tidak asli (orisinal) dan tidak bisa dianggap sebagai wahyu (firman Tuhan)”.
Meskipun menyadari bahwa ayat 1 Yohanes 5: 7-8 tersebut hanya merupakan ayat tambahan untuk menegaskan bahwa dalil adanya trinitas, Dr. G. C. Van Niftrik dan Dr. B. J. Boland masih mencoba berkilah. Ia menyebutkan bahwa ajaran ketritunggalan tidak tergantung kepada satu ayat saja. Termasuk istilah “Allah Anak” tidak hanya mengandalkan kepada Markus 1: 1 yang ternyata juga merupakan “sisipan”.[20] Buku “Dogmatika Masa Kini” karya kedua doktor tersebut menguraikan bahwa dalam 1 Korintus 12 : 4-6 dan Efesus 4: 4-6, Paulus berbicara sekaligus tentang Roh, Kyrios (Tuhan Yesus), dan Allah Bapa. Demikian juga dalam pembaptisan Yesus oleh Yohanes terdapat hubungan khusus antara Yesus Kristus, Roh Kudus, dan Allah Bapa (Markus 1: 10). Hal ini menurut mereka, juga berlaku pada ayat-ayat seperti Yohanes 14:25-26 dan 15:26 dan seterusnya.[21]
Terkait masalah tersebut telah banyak sarjana yang mencoba menjelaskannya. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh M. Hashem menyebutkan sejumlah atribut-atribut ketuhanan memang telah disematkan pada diri Yesus Kristus terutama selama kekristenan berinteraksi dengan sejumlah kepercayaan pagan. Ketika Yesus dipersaingkan dengan Adonis, maka Yesus diberi gelar Kurios atau Kyrios, sebagaimana dalam 1 Korintus 12: 4-6 dan Efesus 4: 4-6 yang dicantumkan oleh Dr. G. C. Van Niftrik dan Dr. B. J. Boland sebagai ayat yang mendukung dalil trinitas yang lain. Ketika menghadapi Dewa Molokh (=raja) maka Yesus kemudian diberi gelar Raja. Ketika dihadapkan dengan Attis sebagai anak tunggal Bapa dengan Ibu Tuhan Cybelle maka Yesus kemudian diberi sebutan Anak Tunggal. Demikian juga gelar Anak Sulung merupakan gelar yang diberikan kepada Yesus dengan mengacu bahwa hanya anak sulung sajalah yang akan dikorbankan kepada Dewa Baal dan Molokh. Unsur-unsur pemberian gelar inilah yang menurut Hashem merupakan penyebab bahwa akhirnya Yesus menjadi “Tuhan sebenar-benarnya Tuhan”.[22]
Istilah Kyrios sebagaimana digunakan oleh 1 Korintus 12: 4-6 dan Efesus 4: 4-6 terhadap pribadi Yesus dalam kaitannya dengan Roh Kudus dan Allah Bapa, sebenarnya memiliki makna sekedar sebagai Tuan (Lord, Heer), jadi bukan “Tuhan”. Hanya saja istilah tersebut jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Ibrani (Yahudi) maka akan menjadi kata Adonai, suatu istilah yang hanya diterapkan pada Yehovah, Tuhan dalam agama Yahudi.[23] Berawal dari sinilah kekacauan penyebutan “Tuhan” terhadap pribadi Yesus itu terjadi. Seharusnya adalah “Tuan Yesus”, bukan “Tuhan Yesus”.
Terkait masalah pengartian tersebut, kesalahan yang terjadi nampaknya memang sengaja dipelihara pada masa berikutnya tanpa pelurusan. Hal ini diungkapkan dalam pengantar sebuah Injil yang diterbitkan di Ende Flores sebagai berikut :
Djadi, sebenarnja lebih tepat, kalau kita menterdjemahkan ”kyrios” mengenai Kristus dengan ”Tuan”. Tetapi kami segan berbuat demikian sebab ”Tuhan” sebagai gelaran Kristus sudah terlalu umum dalam bahasa agama kita …[24]
Perjanjian Baru, dalam sejumlah tempat tidak jarang dalam penulisannya mendapatkan inspirasi dari Perjanjian Lama. Sejumlah ayat Perjanjian Baru menggambarkan bahwa eksistensi Yesus dan perilakunya merupakan penggenapan terhadap ayat-ayat nubuatan yang ada dalam Perjanjian Lama. Misalnya saja, kitab Perjanjian Baru Matius 12: 16-20 menceritakan bahwa Yesus dianggap merupakan penggenapan dari Perjanjian Lama Yesaya 42: 1-4. Ungkapan-ungkapan serupa yang mencoba menghubungkan Perjanjian Baru dengan Perjanjian Lama ini banyak terdapat dalam Bible. Bisa dipastikan bahwa pengarang Perjanjian Baru telah merujuk kepada kitab Perjanjian Lama dalam proses penulisannya. Namun demikian kadangkala, tulisan dalam Perjanjian Baru hanya melakukan klaim saja bahwa Yesus penggenapan dari nubuatan Perjanjian Lama. Sebagai contoh, dalam Lukas 24: 44-46 disebutkan perkataan Yesus sebagai berikut:
24:44 Ia berkata kepada mereka: “Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama-sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur.”
24:45 Lalu Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci.
24:46 Kata-Nya kepada mereka: “Ada tertulis demikian: Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga,[25]
Konsepsi mengenai penderitaan Mesias dan kebangkitan dari kematian pada hari ketiga merupakan salah satu ajaran penting dan mendasar dalam kekeristenanan. Keberadaannya seringkali dihubungkan dengan konsepsi mendasar lainnya yaitu tentang penebusan dosa. Berdasarkan makna harfiah Lukas 24: 44-46 maka konsepsi penderitaan Mesias dan kebangkitan pada hari ketiga tersebut merupakan penggenapan secara langsung dari nubuatan dalam Taurat Musa, Kitab para Nabi, dan Mazmur. Baik taurat, kitab para Nabi, dan mazmur merupakan unsur yang tersusun dalam Perjanjian Lama.
Hanya saja konsepsi penderitaan Mesias dan kebangkitan pada hari ketiga sebagaimana termaktub dalam kitab Lukas tersebut jelas tidak akan dapat diketemukan di bagian manapun Perjanjian Lama, baik Taurat Musa, kitab para nabi, maupun Mazmur. Fenomena menarik ini sempat mengemuka dalam suatu dialog Islam-Kristen yang terjadi pada Kamis, 19 Juni 2003 di Masjid Ad Dakwah Rewwin Waru, Sidoharjo, Jawa Timur. Pihak Islam diwakili oleh Masyhud SM, seorang kristolog muslim, menanyakan kepada Pendeta Hany Sumali, SH, M.Com, Ketua Yayasan Kristen Orthodoks Syria, tentang darimana asal-usul ayat Injil Lukas tersebut mendapat inspirasi dari Perjanjian Lama. Pertanyaan tersebut tidak dapat terjawab pada hari itu juga. Dua minggu selanjutnya, Masyhud SM mempertanyakan kembali pertanyaan yang sama kepada Pendeta Hany Sumali, namun pendeta tersebut tetap tidak mampu menjawabnya. Akhirnya Masyhud memberikan closing statement terhadap pertanyaannya sendiri dengan menyatakan: “Jangankan anda yang baru jadi pendeta, pakar-pakar Alkitab seluruh Indonesia, bahkan seluruh dunia tidak akan menemukan jawabannya”.[26]
Dr. B. M. Schuurman, akademisi yang karyanya menjadi salah satu rujukan Bambang Noorsena, mengakui bahwa kitab suci agama Kristen merupakan karangan manusia, yang pada saat yang sama juga menjadi karya dari Roh Kudus sebagai persaksian terhadap keberadaan Yesus Kristus.[27] Konsepsi tentang pengilhaman roh kudus ini, bukannya tidak terlepas dari problemnya sendiri. Sejumlah teolog Kristen telah sejak awal menyadari bahwa terdapat banyak pertentangan yang paradoks dalam sejumlah substansi Bible. Pandangan beberapa theolog, kadangkala menyiratkan gagasan-gagasan yang problematis yang menunjukkan bahwa seolah ”Roh Kudus” hanya mampu memberikan ilham dalam proses pembentukan Bible namun gagal menjaganya dari ’penyimpangan’ yang terjadi pada ”masa selanjutnya”. Jawaban-jawaban apologetik sering mengemuka untuk mempertahankan rumusan tersebut. Di antaranya adalah ungkapan yang dari Dr. G. C. Van Niftrik dan Dr. B. J. Boland, akademisi Kristen, sebagai berikut :
”Kita tidak usah merasa malu, bahwa terdapat pelbagai kekhilafan di dalam Alkitab : kekhilafan-kekhilafan tentang angka-angka, perhitungan-perhitungan, tahun dan fakta. Dan tidak perlu kita pertanggungjawabkan kekhilafan-kekhilafan itu berdasarkan caranya isi Alkitab telah disampaikan kepada kita, sehingga dapat kita berkata : dalam naskah asli tentulah tidak terdapat kesalahan-kesalahan, tetapi kekhilafan-kekhilafan itu barulah kemudiannya terjadi di dalam turunan-turunan (salinan-salinan) naskah itu. Isi Alkitab, juga dalam bentuknya yang asli, telah datang kepada kita ”dengan perantaraan manusia” (Calvin). Roh Kudus tidak mematikan manusia untuk membuat dia menjadi suatu alat yang tak berkehendak …[28]
Dalam perjalanan kesejarahan pertemuannya dengan Islam, telah lahir kekhawatiran tersendiri dalam tubuh kekristenan. Pada abad ke-17 misalnya, muncul aliran “orthodoks” dalam Kristen yang sangat mungkin terpengaruh oleh pandangan terhadap Al Quran dalam agama Islam. “Ilham” oleh aliran ini diartikan sebagai berikut: bahwa roh kudus telah mengimlakkan atau mendiktekan kepada penulis-penulis Alkitab, apa yang harus mereka catat.[29] Namun pemahaman ini akhirnya menjadi buah simalakama tersendiri menilik kandungan Bible yang menyimpan kontradiksi yang paradoksal dalam form maupun substansinya. Islam di satu sisi memiliki standar penilaian terhadap sumber kebenaran yang terlalu tinggi, sehingga jika “standar Islam” ini diterapkan kepada Bible maka niscaya secara keseluruhan isi kitab ini akan tertolak, tidak dapat digunakan sebagai dalil maupun argumentasi. Belum lagi posisi Bible berhadapan vis-a-vis dengan “Ilmu Pengetahuan”, nyatanya juga lebih banyak tidak menguntungkan pihak gereja. Dalam proses-proses inilah budaya juga turut memainkan peranannya, termasuk dalam menjaga jarak antara dunia dengan institusi gereja maupun kekristenan.
KOMPARASI BIBLE DAN HADITS
Beberapa tokoh seringkali membandingkan bahwa cerita-cerita Bible dari segi periwayatannya memiliki karakteristik yang paralel dan sederajad dengan tradisi hadits dalam ajaran Islam. Dr. Maurice Bucaille, misalnya, menyatakan bahwa Bible memiliki persamaan dengan hadits, sebab keduanya memuat kisah-kisah tentang Nabi dan orang shalih beserta ajarannya. Perjanjian Baru juga mirip dengan hadits sebab ditulis oleh orang-orang beberapa puluh tahun setelah wafatnya Isa.[30] Pendapat Dr. Bucaille yang hanya ditinjau dengan mengacu pada sejumlah segi penyamaan yang bersifat fenomenologis saja, sudah tentu terlalu berlebihan, sebab hadits jelas tidak bisa dibandingkan dengan Bible. Terdapat sejumlah perbedaan mendasar yang sulit dipertemukan antara kedua entitas tersebut. Beberapa penulis muslim juga sering memberikan perbandingan antara ayat-ayat Bible dan hadits. Dikatakan bahwa Bible setara dengan hadits maudlu’ (hadits palsu), kalaupun mungkin hanya akan mencapai derajad hadits dha’if (hadits lemah).[31] Sebagian ulama berpendapat, dalam kasus hadits yang lemah karena perawinya sudah tua sehingga terkendala dengan hafalan yang menurun karena usia, derajadnya bisa menjadi hadits hasan (baik) jika terdapat kondisi bahwa terdapat perawi lain yang memiliki kondisi sama yang juga meriwayatkan hadits yang sama. Sehingga hadits tersebut dikenal sebagai hadits hasan li ghairihi artinya hadits tersebut bernilai baik karena ditopang dan dikuatkan oleh keberadaan hadits yang lain. Akan tetapi ayat-ayat Bible tidak akan pernah dapat mencapai tingkatan derajad yang demikian. Sebab sejak awal memang tidak memiliki tradisi pengujian keshahihan yang terpercaya.
Jika dengan hadits dha’if saja tidak memenuhi standar sehingga dapat disejajarkan, maka apatah lagi jika dikomparasikan dengan Al Quran. Keberatan utama muslim adalah terkait dengan keabsahan sumber yang berasal dari Bible ketika disejajarkan dengan nash Al Quran. Standar kebenaran sumber dalam Islam yang paling utama adalah mengandalkan sumber dari khabar shadiq. Khabar shadiq ini pun memiliki tingkatan-tingkatan, dimana yang tertinggi adalah mutawatir. Sedangkan derajad Al Quran adalah dari khabar shadiq yang mutawatir. Sedangkan hadits memiliki derajad yang berbeda-beda. Sebagiannya juga mencapai derajad khabar shadiq yang mutawatir tersebut. Lawan dari khabar shadiq adalah khabar kadzib (berita dusta). Beberapa hadits sengaja diciptakan oleh orang-orang belakangan sehingga menempati kedudukan sebagai khabar kadzib sebab tidak berasal dari perkataan Rasulullah dan memiliki konsekuensi hukum tersendiri yang tidak sesuai dengan Al Quran dan As shunnah. Seringkali kalangan muslim menyebut khabar ini sebagai “hadits palsu” yang maknanya, bukan hadits dalam arti sebenarnya.
Hadits memiliki sistem verifikasi validitas yang sangat ketat. Sebenarnya, hadits palsu bahkan derajadnya adalah lebih tinggi dari Bible, sebab hadits palsu (hadits maudlu’) terkadang masih memiliki sejumlah informasi yang menyebutkan jalur periwayatan tertentu yang bisa dirunut beserta pengenalan terhadap jalur-jalur tersebut. Sedangkan Bible termasuk bagian Perjanjian Barunya sama sekali tidak memiliki metode telaah yang bersifat demikian. Penisbatan suatu kitab terhadap penulis tertentu dari Bible, umumnya hanya disandarkan pada sejumlah teori yang bersifat spekulatif dan masih memiliki peluang untuk diperdebatkan. Sebut saja misalnya Pentateuckh, kebanyakan umat Kristiani menganggap kelima kitab tersebut merupakan karya dari Musa. Akan tetapi tidak ada satu pun jalur periwayatan yang dapat digunakan untuk membuktikan bahwa Pentateuch memang benar-benar merupakan karya Musa. Justru jika dianggap sebagai karya Musa, maka Pentateuch menyisakan sejumlah kejanggalan. Diantaranya adalah cerita tentang kematian Musa sendiri yang tidak mungkin dikisahkan oleh Musa secara pribadi.[32] Tentang “Kitab Musa” ini Vriezen telah memberikan penjelasan tersendiri sebagai berikut:
Mengenai jaman Musa, banyak soal yang masih belum terpecahkan. Bahkan belakangan ini para pengkritik malah menyoroti dengan lebih tajam lagi tradisi2 berkenaan dengan Musa itu. Ada ahli yang meragukan sekali, apakah betul oknum Musa memainkan peranan historis dalam pembebasan dari Mesir dan dalam pernyataan di gunung Sinai. Ada ahli yang menolak secara hampir total (menyeluruh) adanya dasar Musais pada agama israel, atau pada institusi2 agama Israel yang tertentu. Banyak ahli berpendapat bahwa bukti2 berupa naskah otentik dari jaman Musa malah tidak ada sama sekali.[33]
PENUTUP
Dengan demikian, Bible bukan hanya disampaikan pada suatu kaum dengan suatu budaya tertentu melainkan mulai dari proses pembentukannya hingga kompilasi memang sukar dipisahkan dari proses-proses kebudayaan manusia. Kesalahan penyalinan, penambahan, dan proses penetapan merupakan konsekuensi logis dari proses-proses kebudayaan tersebut. Persoalan kitab suci merupakan hal yang paling mendasar dari sebuah agama, sebab merupakan sumber-sumber dari agama yang bersangkutan. Jika problem ini saja belum mendapatkan pencerahan maka kekacauan sudah tentu akan merambah kepada aspek-aspek yang lain tanpa terkecuali, meliputi tradisi, ritual, dan bahkan merambah pada wilayah keyakinan yang paling mendasar yaitu masalah ketuhanan.
Kesan yang hendak dibangun bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terbebas dari problematika, hendaknya dicermati ulang. Proses-proses kebudayaan yang berjalan di sekitar penulisan hingga kompilasinya terlalu riskan untuk diabaikan. Sebab umumnya kelupaan terhadap kronologi sejarah kitab tersebut merupakan keuntungan tersendiri yang berguna untuk memuaskan suatu argumen ajaran.
Penulis: Susiyanto – Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)
0 comments:
Post a Comment