Tiga Cara Penyerangan terhadap Mushaf Utsmani
Tuesday, June 28, 2011
Serangan terhadap Mushaf Utsmani dilakukan dengan tiga cara.
1. Pertama, melalui periwayatan;
2. kedua, melalui penemuan manuskrip lama; dan
3. ketiga, melalui tafsiran dan kekuatan intelektual.
1. Pertama, melalui periwayatan;
2. kedua, melalui penemuan manuskrip lama; dan
3. ketiga, melalui tafsiran dan kekuatan intelektual.
Untuk menyerang dari sisi periwayatan, mereka terpaksa menggunakan senjata ulumul hadits agar riwayat yang awalnya tertolak bisa diterima kembali. Ulama Hadits tentu tidak berdiam diri, karena sejak dahulu mereka memang telah memberi sumbangan besar dalam menjaga keutuhan al-Quran. Karena mushaf ini disandarkan pada riwayat yang mutawatir, serangan ini tidak akan mampu merusak Mushaf Utsmani. Apalagi upaya mereka melalui cara ini paling jauh hanya bisa mengangkat kedudukan riwayat syadz (yang menyimpang) menjadi ahad. Itupun dengan syarat riwayat itu tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran Mushaf Utsmani lainnya.
Pun, bila usaha itu berhasil, fungsi yang paling tinggi dari riwayat itu paling hanya sebagai tafsir pembantu bagi Mushaf Utsmani. Itupun belum tentu diterima oleh ijma sebagai salah satu bacaan Utsmani. Jadi sebenarnya, serangan terhadap Mushaf Utsmani melalui jalan ini terlalu banyak makan waktu dan tenaga, tetapi hasilnya tidak seberapa.
Alford T. Welch yang menulis mengenai al-Quran dalam Encyclopaedia of Islam menyatakan keputus-asaan para pengkaji Barat itu. Menurutnya, berbagai riwayat mengenai bacaan-bacaan yang telah mereka kumpulkan sekian lama itu tidak terlalu berarti untuk menyerang Mushaf Utsmani.
Ketika mereka gagal meruntuhkan al-Quran dengan jalan riwayat, karena dijaga ketat oleh para ulama hadits, para orientalis itu jadi semakin berang. Kemudian dengan serta merta mereka menuduh bahwa riwayat-riwayat hadits yang mutawatir itu merupakan rekaan para ulama Islam.
Begitulah sikap mereka, bila gagal menyerang al-Quran, maka hadits yang menjadi sasaran. Dan bila gagal menyerang hadits, maka fikih dan ilmu kalam pun akan mereka hantam. Bila gagal lagi, mereka menghantam, sejarah Islam yang luas dan panjang itu yang akan mereka buru. Mereka memang tidak akan berhenti menyerang sumber-sumber Islam, baik secara halus maupun terang-terangan agar agama Islam menerima nasib yang sama seperti agama mereka.
Cara kedua yang mereka lancarkan adalah melalui penemuan-penemuan manuskrip. Misalnya yang dilakukan oleh Gerd R. Puin baru-baru ini. Ia mengklaim telah menemukan mushaf tua di Yaman yang konon mengandungi qira’ah yang lebih awal dari Qira’ah Tujuh yang terkandung dalam Mushaf Utsmani, walaupun mushaf itu tidak lengkap dan sangat berbeda dengan Mushaf Utsmani.
Tujuan dari klaim itu adalah agar umat Islam yang membaca tulisannya menjadi keliru dan ragu sehingga menganggap bahwa al-Quran pada zaman Sahabat itu satu sama lain saling bertolak belakang. Memang serangan melalui manuskrip lama ini lebih canggih dibandingkan dengan serangan melalui riwayat. Tapi, ketiadaan manuskrip yang mereka inginkan itu jadi masalah yang mengganjal tujuan kajian mereka.
Maka, dengan penemuan manuskrip Yaman di atas, konon Puin ingin mengemukakan bukti bahwa riwayat-riwayat yang bertentangan dengan Mushaf Utsmani itu bukan sekadar isu, tetapi fakta. Beliau turut mengkritik pernyataan Welch yang mengisyaratkan bahwa sebenarnya tidak ada alasan bagi para pengkaji Barat untuk menolak sumber-sumber hadits, sebab apa yang dinyatakan dalam banyak riwayat mengenai isu susunan surah-surah al-Quran adalah mendekati susunan Mushaf Utsmani.
Dengan modal penemuan manuskrip Sana’a di Yaman itu, pernyataan Welch di atas disindir dan diputarbalikkan oleh Puin. Ia merasa bahwa serangannya terhadap Mushaf Utsmani lebih ampuh menggunakan manuskrip dibanding melalui jalan riwayat yang merupakan jalan mati bagi para orientalis yang menggeluti bidang al-Quran.
Memang wajar bagi pengkaji Barat yang berlatar belakang tradisi Ahlul Kitab, Yahudi dan Kristian, untuk melirik manuskrip lama sebagai senjata utama mereka. Ini karena masalah agama mereka bersumber pada kitab suci mereka sendiri. Mereka ingin agar nasib al-Quran seperti nasib Taurat dan Injil. Mereka mau agar kita juga masuk dalam kelompok Ahlul Kitab! Maha Benar Allah, dengan firman-Nya:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah datang ilmu kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.“ (Al-Baqarah: 120)
Kita, kaum Muslimin, tidak perlu terlalu bimbang dengan serangan baru melalui manuskrip ini, karena kualitas manuskrip itu pada dasarnya sama dengan kualitas riwayat hadits. Sebuah hadits, yang bila dari segi isnadnya nampak sah, tetapi pengertian matannya bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat derajat kesahihannya, maka hadis tersebut dianggap syadz (menyimpang). Begitu pula nilai sebuah manuskrip al-Quran dan qiraah-nya. Kesahihan manuskrip maupun riwayat harus menjadi ukuran utama.
Puin mengklaim bahwa manuskrip Sana’a itu lebih tua dari sistem qiraah tujuh atau sepuluh, yang telah diakui mutawatir atau masyhur masing-masingnya oleh para ulama Islam. Kebetulan manuskrip itu mengandung qiraah yang lebih banyak daripada qiraah tujuh, sepuluh atau empat belas seperti yang diuraikan dalam Mu‘jam al-Qira`at al-Quraniyyah.
Kita ingin mengatakan kepada Puin bahwa banyaknya qiraah yang terdapat dalam manuskrip itu sebenarnya tidak sahih. Karena apabila ia telah keluar dari qiraah 14 yang memuatkan bacaan ahad, boleh jadi bacaan-bacaan yang banyak itu hanyalah merupakan bacaan yang bernilai syadz (ganjil, menyimpang) ataupun mawdhu’‘ (palsu).
Bacaan-bacaan yang dikategorikan bernilai dha’if (lemah) seperti itu boleh jadi merupakan suatu kesalahan-kesalahan tulisan dalam manuskrip al-Quran yang ditulis secara individual oleh para penulis manuskrip yang bisa jadi dalam keadaan mengantuk, letih, tidak profesional dan lain-lain. Perlu disebutkan bahwa asal al-Quran adalah bacaan (qiraah) yang diperdengarkan, barulah tulisan (rasm) mengikutinya.
Prinsip yang disepakati adalah al-rasm tabi‘ li al-riwayah (tulisan teks mengikuti periwayatan). Karena itu, faktor periwayatan dari mulut ke mulut sangatlah penting. Hal itu telah dilakukan oleh para sarjana dan penghafal al-Quran yang berwibawa. Tetapi para orientalis ingin menyodorkan pemikiran mereka yang menyeleweng dengan mengatakan bahwa bacaan al-Quran mestilah mengikuti teks tulisan (rasm), sekalipun tulisan itu salah.
Pantaslah nenek moyang mereka yang Ahlul Kitab itu tersesat sejak dahulu, karena mereka hanya berpegang dengan teks tulisan dan telah kehilangan isnad dan sandaran yang kukuh dalam periwayatan kitab suci mereka. Mungkin karena sebab itu pula mereka dipanggil Ahlul Kitab, karena mereka itu memang, seperti kata Prof. Naquib al-Attas, bookist.
Para ulama Islam awal telah membuat perbedaan antara al-Quran dengan qiraah. Al-Quran adalah bacaan mutawatir yang diterima oleh keseluruhan umat Islam, dibaca dalam shalat,dan menolak bacaan itu adalah kufur. Sedangkan pada qiraah tidak demikian. Mereka juga telah meletakkan syarat-syarat penerimaan qiraah. Pembahagian qiraah yang kita sebutkan di atas menunjukkan kategori penerimaan dan penolakan terhadap sesuatu qiraah. Oleh karena itu tidak semua qiraah dapat diterima. Kalaupun diterima, belum tentu bacaan itu dibenarkan untuk dibaca dalam shalat. Dan hal ini tidak berarti qiraah tersebut tidak bermakna, karena fungsi bacaan itu masih boleh membantu dalam ilmu tafsir. Jadi penemuan Puin mengenai banyak terdapatnya qiraah dalam manuskrip itu mungkin sekali termasuk qiraah-qiraah yang dha’if , yang tidak akan diterima para ulama.
Agaknya Puin tidak begitu mengindahkan tiga rukun utama yang mesti dipenuhi agar setiap qiraah itu bisa diterima. Rukun-rukun yang telah disepakati itu adalah: pertama, qiraah mestilah sesuai dengan tata bahasa Arab, walaupun itu hanya dari satu pengertian (wajh); kedua, qiraah mesti juga sesuai dengan salah satu dari Mushaf Utsmani, walaupun itu hanya dari segi kemungkinannya (ihtimal); dan ketiga, qiraah juga mesti sah sanad periwayatannya. Apabila salah satu rukun itu tidak terpenuhi, maka qiraah tadi dianggap dha’if (lemah), syadzh (ganjil) atau batil.
Menurut Ibnu al-Jazari, ketentuan itu adalah sahih di mata para pengesah (pentahqiq) baik di kalangan ulama salaf (ulama di masa awal) ataupun khalaf (ulama yang terkemudian). Uraian terperinci terhadap ketiga rukun itu terdapat dalam kajian ‘Ulum al-Quran.
Bila gagal dengan cara pertama, para orientalis dan pengikutnya dari kalangan Islam akan menggunakan cara kedua. Di situ, mereka mengabaikan tiga rukun dan syarat diterimanya sebuah qiraah, yakni kesesuaian dengan kaidah bahasa Arab; kesesuaian dengan Mushaf Utsmani; dan sanad periwayatannya sah.
Tujuan utama penggunaan manuskrip lama adalah mengikis dan menghapuskan ketiga rukun qiraah di atas untuk kemudian diberikan alternatif dan arti baru bagi penerimaan qiraah. Arti baru itu adalah: setiap bacaan yang ditemukan dalam manuskrip lama adalah bacaan yang diterima.
Arti baru ini, yang sebenarnya mempunyai dasar pemikiran berbeda, telah dimulai oleh Ignaz Goldziher, seorang orientalis dari Hungaria. Ia mengatakan bahwa banyaknya qiraah itu bersumber dari tulisan Al-Quran (rasm) yang asalnya tidak mempunyai titik (naqth) dan baris (syakl atau harakah). Menurutnya, qiraah itu dasarnya adalah rasm.
Para ulama Islam yang tahu persis sejarah Al-Quran pun — yang mana Goldziher sendiri merujuk kepada kitab-kitab mereka — dari dahulu telah sepakat bahwa dasar qiraah itu adalah riwayat. Karena memang begitulah Al-Quran itu disampaikan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat dan seterusnya kepada ummat ini.
Tetapi Goldziher memang sengaja menyalahi kesepakatan para ulama Islam yang dirujuknya itu karena ingin membuka peluang bagi penemuan-penemuan manuskrip lama yang nantinya akan menurunkan wibawa Mushaf Utsmani. Dari sini, nyata sekali pemikiran tersebut telah diambil oleh Puin.
Kalaulah benar dakwaan Goldziher itu, sudah barang tentu tidak ada lagi Qiraah Tujuh, Sepuluh, atau Empat Belas yang kita sebutkan sebelum ini. Dan sudah tentu pula akan ada lebih banyak qiraah yang beredar dan diakui dari dahulu hingga kini, termasuk qiraah yang tidak kuat dari Rasulullah.
Sejarah Al-Quran juga mengisyaratkan bahwa hikmah di balik Khalifah Utsman meniadakan titik dan baris bagi mushafnya adalah supaya mushaf itu memungkinkan (ihtimal) bacaan-bacaan lain yang bersumber dari Rasulullah juga. Jadi apabila ada satu bacaan yang mungkin terkandung dalam, dan sesuai dengan Mushaf Utsmani, tetapi tidak diriwayatkan dari Rasulullah, maka bacaan itu ditolak oleh para ulama Islam. As- Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan ketika memberi penjelasan mengenai ketiga rukun qiraah juga menyatakan hal itu.
Pada tahun 354 Hijriah telah meninggal seseorang bernama Ibnu Miqsam. Ia pernah mengeluarkan pendapat bahwa setiap bacaan yang sesuai dengan tulisan (rasm) mushaf dan mempunyai sisi kesesuaian dengan tata bahasa Arab, bacaan itu boleh dipakai dalam sembahyang, sekalipun bacaan itu tidak diriwayatkan dari Rasulullah.
Pemikiran Goldziher yang disambut baik oleh Puin itu tidak lain merupakan upaya membangkitkan kembali kesesatan lama Ibnu Miqsam yang telah terkubur. Goldziher tahu perkara ini. Ia, yang dalam hati kecilnya pernah mengakui kebenaran Islam dan Al- Quran, telah menutup balik cahaya yang Allah telah pancarkan dalam dirinya.
Sayang sekali Goldziher yang kita kenal adalah seorang orientalis yang sangat keras penentangannya terhadap Islam dan sumber- sumbernya. Kini giliran Puin pula yang melanjutkan pemikirannya dan mendakwa bahwa qiraah yang ditemukan dalam manuskrip Sana’a itu mempunyai nilai yang tinggi, karena semata-mata hal itu bersumber dari manuskrip lama, tanpa mempertimbangkan jalan periwayatannya.
Walaupun pada awal tulisannya Puin sendiri telah berputus asa menyerang Al-Quran melalui jalan periwayatan, namun kini ia mendapat senjata baru dengan ditemukannya manuskrip Yaman. Tapi kaum Muslimin tidak akan tersesat oleh tipu daya Puin selagi mereka berpegang teguh dengan tradisi yang dipertahankan para ulama Islam yang mu’tabar (diakui).
Mushaf Utsmani, teks tulisannya (rasm), bacaannya (qiraah), susunan ayat dan surahnya, serta kandungan ayat dan surahnya telah disetujui oleh semua Sahabat. Bahkan dalam pertentangan politik yang membawa peperangan antara pasukan Muawiyah dan pasukan Sayidina ‘Ali bin Abi Thalib (perang Siffin), ketika Mu’awiyah mengangkat Mushaf Utsman untuk berdamai, Sayidina ‘Ali tidak mempersoalkan mushaf Al-Quran itu.
Walaupun mereka berbeda dari segi faham politik, tetapi mereka masih bersatu dalam perkara asas agama Islam seperti kesepakatan mereka menerima Mushaf Utsmani.
Puin sendiri mengakui bahwa usahanya itu tidak membuahkan hasil yang baru terhadap kajian Al-Quran yang telah dirintis oleh para orietalis sebelumnya seperti Nldeke, Bergsträsser, Pretzl, Deim, Neuwirth, dan Getje.
Apa yang dikatakannya ‘baru’ dan ‘di luar dugaan’ mengenai susunan surah-surah Mushaf Utsmani itupun sebenarnya adalah isu lama. Penemuan manuskrip Al-Quran yang tidak lengkap dan mempunyai susunan surah-surah yang berbeda dengan Mushaf Utsmani menunjukkan itu bukanlah Al-Quran yang disetujui oleh para Sahabat, dan juga tidak akan disetujui oleh para ulama Islam kini. Kalau tidak percaya, coba saja mushaf itu diterbitkan. Nasibnya mungkin tidak akan berbeda dengan Venice Quran yang kini terasing dan hanya teronggok di Bibliotheca Marciana, Italia.
Fakta bahwa tidak ada para penyumbang dana yang ingin melanjutkan proyek penerbitan mushaf “Puin” itu, juga membuktikan bahwa beban sejarah dan muatan intelektual itu tidak akan tertanggung oleh Puin seorang diri.
Maha Benar Allah ketika berfirman: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah (saja) yang semisal Al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya), dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Al-Baqarah: 23- 24).
Serangan Ketiga
Kembali kepada bentuk-bentuk serangan terhadap Mushaf Utsmani. Serangan ketiga adalah melalui pemikiran dan intelektual. Serangan ini tidak lagi mempergunakan alternatif Mushaf Utsmani seperti percobaan mereka malalui jalan riwayat dan manuskrip lama, tetapi sekadar menanamkan perasaan ragu dalam jiwa kaum Muslimin akan kewibawaan Al-Quran yang diwakili oleh Mushaf Utsmani. Mereka menginginkan agar sikap kaum Muslimin terhadap Al-Quran itu sedikit demi sedikit berubah sehingga sama dengan sikap orang-orang Kristian terhadap Bible, atau sikap orang-orang Yahudi terhadap Talmud, yang tidak menganggap kitab-kitab itu asli dari Nabi mereka.
Tapi hal ini bergantung kepada kekuatan pemikiran dan intelektual para ulama kita saat ini. Apabila mereka mampu berargumen dengan para orientalis ini maka keimanan masyarakat awam kaum Muslimin akan tetap terpelihara. Tetapi apabila mereka terpengaruh oleh “bisikan” pemikiran golongan yang “mendatangkan waswas dalam dada manusia” (An-Naas: 5), maka orang awam akan ikut juga.
Salah seorang dari mereka yang telah diwas-waskan oleh bisikan itu adalah pemikir Mesir yang bernama Nashr Hamid Abu Zayd dengan karyanya Mafhum al-Nash. Apabila gelanggang perdebatan ilmiah tidak berfungsi, padahal cara itu dianjurkan juga oleh Al-Quran (“Dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik.” Surah an-Nahl: 125) maka undang-undang Mesir menjatuhkan hukuman murtad terhadap Abu Zayd dan akibatnya beliau mesti menceraikan isterinya, Dr Ibtihal, yang juga seorang terpelajar. Karena takut dibunuh oleh golongan Islam garis keras, maka pada tahun 1995 kedua suami isteri ini melarikan diri ke Eropa. Tapi orang yang dianggap murtad oleh kerajaan Mesir ini justru disambut hangat oleh para pengkaji Barat dan diberikan tempat terhormat di Universitas Leiden, Belanda.
Begitulah cara orientalis memikat hati orang-orang yang bisa bersama dengan mereka. Ini sekaligus menunjukkan bahwa pada saat ini nampaknya pemikiran lebih kuat pengaruhnya dari undang-undang. Kini, Nashr Abu Zayd masih bebas dan aktif melakukan kajian-kajian Al-Quran-nya, dan bersama Mohammed Arkoun ia menjadi anggota lembaga penasihat proyek serta penyumbang artikel dalam Encyclopaedia of the Quran yang berpusat di Leiden, yang walaupun telah terbit edisi pertamanya tahun 2001, tapi hanya baru sampai entry A-D.
Para intelektual Islam sejati mestilah melipat-gandakan usaha ilmiah mereka untuk berhadapan dengan tantangan baru saat ini. Pertarungan ilmiah mengenai Al-Quran dan tafsirnya belum berakhir. Yang jelas, Mushaf Utsmani saat ini tetap utuh dan tidak goyah, karena ia mempunyai kedudukan yang luhur dan mempunyai para pembelanya di setiap zaman, seperti kata Abu Ubayd di awal tulisan ini.
Pertempuran ilmiah kini lebih kepada pemikiran dan tafsir Al-Quran, walaupun riwayat dan manuskrip pun masih digunakan. Meskipun begitu para ulama lampau kita yang berwibawa tetap mempunyai jurus-jurus yang handal dalam menafsirkan Al-Quran.
Kaum Muslimin hanya akan jadi pecundang bila kita sendiri meninggalkan jurus-jurus itu. Pedang-pedang mereka yang kita warisi juga mesti kita tajamkan kembali. Jurus dan pedang baru buatan kita pada hari ini nampaknya masih kaku dan tumpul juga walaupun telah kita latih dan asah berkali-kali.
Oleh karena itu, jangan kita buang warisan mereka, karena warisan mereka adalah warisan pewaris Nabi, dan melalui mereka pula Allah menjaga Al-Quran ini: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9).
0 comments:
Post a Comment